Wisata

Kyoto: Dari Kuil Tersembunyi sampai Jalanan Romantis Gion

Kyoto Waktu pertama kali saya menginjakkan kaki di Kyoto, saya kira saya siap. Saya sudah googling semuanya, itinerary disusun rapi, dan kamera mirrorless sudah standby. Tapi ternyata, Kyoto wisata bukan kota yang bisa kamu pahami hanya lewat itinerary. Dia harus kamu rasakan—perlahan, tanpa terburu-buru. Dan di sanalah wikipedia saya sadar, ada sisi Kyoto yang tak akan muncul di brosur wisata: kuil tersembunyi, aroma kayu di lorong kecil, dan romansa Gion yang terasa seperti film era Showa.

Ketika Tersesat Justru Menjadi Berkah

Jadi ceritanya gini. Hari pertama, saya niat banget mau ke Kiyomizu-dera, karena katanya pemandangannya kece banget dari atas. Tapi karena terlalu ngandelin GPS dan nggak baca petunjuk lokal (yang, FYI, kadang cuma dalam Kanji), saya malah belok ke jalan kecil yang nggak ada turis sama sekali.

Awalnya panik. Tapi terus saya ketemu kuil kecil yang bahkan nggak ada di Google Maps. Serius, ini seperti masuk ke dunia lain—sepi, hanya ada suara serangga dan daun yang jatuh. Di situlah saya nemu kuil Honen-in. Simpel, kecil, tapi damainya luar biasa.

Kyoto

Saya duduk di tangga batunya, dan untuk pertama kalinya sejak landing, saya diem. Nggak buka ponsel, nggak foto-foto. Cuma duduk dan napas. Dan jujur, itu momen paling spiritual selama di Kyoto.

Pelajaran:
Kadang jalan-jalan terbaik adalah yang nggak direncanakan. Kyoto punya banyak hidden gem—kalau kamu terlalu sibuk ngejar tempat populer, kamu bakal kelewat bagian terbaiknya.

Kuil-Kuil yang Bukan Instagram Darling

Banyak orang ke Kyoto ngejar kuil yang ‘Instagrammable’—Fushimi Inari, Kinkaku-ji, Ginkaku-ji. Dan memang, itu cantik banget. Tapi setelah tiga hari, saya mulai ngerasa overload. Semua tempat itu penuh orang. Mau foto? Harus sabar ngantri atau jago cropping.

Jadi saya mulai hunting kuil yang nggak masuk top 10 Tripadvisor. Salah satu yang paling berkesan: Otagi Nenbutsu-ji.

Kuil ini ada di daerah Arashiyama, tapi agak ngumpet di atas bukit. Di sana ada ratusan patung kecil dengan ekspresi wajah yang beda-beda. Ada yang ketawa, ada yang ngupil, ada yang tidur. Serius, lucu banget tapi juga menenangkan. Rasanya kayak disambut sama karakter Ghibli.

Dan karena nggak banyak turis yang datang, saya bisa kelilingin tempat ini dengan tenang. Tanpa harus mikirin background foto orang lain. Just me and those quirky little statues.

Tips Foto:

  • Datang pagi atau sore, cahaya lebih lembut.

  • Gunakan lensa fix (50mm) buat dapet depth yang cantik.

  • Bawa tripod kecil buat foto solo—trust me, kamu bakal pengen simpen memori ini.

Arashiyama: Bukan Cuma Bamboo Grove

Siapa sih yang nggak pengen foto di Bamboo Grove Arashiyama? Tapi jujur, tempat itu overrated. Cantik sih, tapi begitu rame, auranya langsung hilang.

Nah, saya nemu satu tempat nggak jauh dari situ, namanya Gio-ji Temple. Cuma sekitar 10 menit jalan kaki, tapi bener-bener beda vibe.

Kyoto

Kuil ini kecil, dikelilingi samak-samak dan moss (lumut) yang tebal, kayak hutan mini dari dongeng. Waktu saya ke sana, cuma ada saya dan satu kakek-kakek lokal yang lagi lukis. Kami nggak ngobrol, tapi saling senyum. Rasanya… damai.

Setelah itu saya nyoba jalan-jalan ke sungai Hozugawa. Nggak naik boat sih, mahal, tapi duduk di pinggirannya sambil makan mochi yang saya beli di warung kecil, udah cukup banget buat bikin hati adem.

Rekomendasi snack Arashiyama:

  • Yatsuhashi panggang isi matcha

  • Mochi panggang di depan Tenryu-ji Temple

  • Teh hojicha dingin dari vending machine—serius, menyelamatkan di musim panas

Gion: Ketika Waktu Seolah Berjalan Mundur

Saya datang ke Gion waktu sore menjelang malam. Udah capek sih seharian jalan, tapi katanya “magical hour” Gion itu justru mulai jam 5 ke atas.

Dan bener aja. Langit Kyoto mulai oranye, lampu-lampu jalan dinyalain, dan suara sepatu kayu (geta) terdengar di kejauhan. Saya pikir itu efek suara dari restoran, eh ternyata beneran ada maiko (geisha muda) lewat di depan saya.

Saya langsung diem, nahan napas. Bukan karena pengen foto, tapi karena itu momen langka yang nggak semua orang bisa lihat langsung. Dan saya beruntung banget bisa ngalamin itu tanpa kerumunan.

Setelah itu saya jalan kaki menyusuri Hanami-koji. Jalan ini punya vibe nostalgia yang susah dijelasin. Bangunan kayu tua, lampion merah, suara tawa pelan dari izakaya yang belum buka. Rasanya kayak mundur ke zaman Edo.

Saya akhirnya makan malam di warung kecil dekat sungai Shirakawa, pesen oyakodon dan teh panas. Sambil makan, saya lihat pasangan tua duduk di seberang meja, saling ngobrol pelan. Di tengah kota yang sibuk, Gion kayak oase tenang buat hati yang udah capek.

Tips Menikmati Gion Tanpa Terganggu:

  • Jangan bawa rombongan besar, lebih enak solo atau berdua.

  • Ssst… hindari selfie-stick. Ganggu suasana banget.

  • Hormati privasi maiko, jangan asal foto tanpa izin.

Jalanan Sempit dan Kenangan yang Luas

Ada satu hal yang bikin saya nggak bisa move on dari Kyoto: lorong kecilnya.

Banyak jalan di Kyoto yang sempit, cukup buat satu motor lewat. Tapi justru di sanalah cerita Kyoto hidup. Ada kedai teh kecil, ada rumah tradisional yang dari luar nggak kelihatan apa-apa tapi ternyata gallery lukisan.

Kyoto

Di salah satu lorong itu, saya ketemu kedai kopi milik seorang ibu tua. Namanya Kissa Tsubaki. Nggak ada menu dalam bahasa Inggris, tapi ibunya ramah banget. Dia nyeduhin saya kopi siphon dan kasih kue kecil dari matcha.

Kami ngobrol pakai bahasa tubuh dan beberapa kata Jepang yang saya pelajari dari anime (iya, anime juga berguna kadang-kadang). Obrolan kami nggak panjang, tapi hangat. Saya merasa kayak cucu jauh yang lagi pulang ke rumah nenek.

Rekomendasi Nongkrong Lokal:

  • Kissa Tsubaki (Gion)

  • Weekenders Coffee (dekat Stasiun Karasuma)

  • Inoda Coffee (Kyoto Old Town)

Pulang dengan Hati yang Nggak Sama

Kalau kamu pikir Kyoto cuma tentang wisata dan kuil, kamu keliru. Kyoto itu tentang melambat. Tentang menikmati waktu tanpa harus buru-buru ngejar check-in tempat wisata.

Saya belajar untuk lebih peka—dengerin suara angin, rasain tekstur batu di bawah sandal, dan jangan terlalu banyak motret sampai lupa nikmatin langsung.

Dan yang paling penting, saya belajar bahwa perjalanan terbaik bukan yang paling lengkap, tapi yang paling terasa.

Kesimpulan: Kyoto Bukan Cuma Tujuan, Tapi Proses

Kalau kamu lagi nyari tempat yang bukan sekadar destinasi tapi juga pengalaman spiritual kecil-kecilan, Kyoto adalah jawabannya. Tapi kamu harus datang bukan sebagai turis, tapi sebagai tamu. Biarkan kota ini memperkenalkan dirinya secara perlahan.

Datanglah dengan hati terbuka, waktu yang longgar, dan rasa ingin tahu yang tulus. Karena Kyoto bukan tempat yang pamer diri. Dia malu-malu, tapi kalau kamu sabar, dia akan tunjukkan sisi terbaiknya—dari kuil tersembunyi sampai jalanan romantis Gion yang bikin kamu nggak pengen pulang.

Baca Juga Artikel Ini: Gundaling: Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Sumatera Utara

Author