Gue, Politik, dan Purnawirawan TNI yang Dukung Gibran
Contents
- 1 Gue Gak Gitu Ngerti Politik, Tapi Ada yang Gak Beres Rasanya
- 1.1 Dulu, Militer Itu Netral. Sekarang, Kayaknya Udah Nggak Lagi
- 1.2 Gibran Naik Terlalu Cepat, dan Itu Gak Bisa Dipisahin dari Koneksi
- 1.3 Kenapa Harus Purnawirawan yang Muncul di Depan?
- 1.4 Apa Kata Temen Gue Anak Kostrad?
- 1.5 Demokrasi Itu Harusnya Sehat, Tapi Yang Terjadi Malah Kebanyakan Sponsor
- 1.6 Gue Gak Benci TNI, Tapi Gue Nyesek Liat Citra Mereka Dipakai Buat Politik
- 1.7 Lo Mau Bilang Ini Konspirasi? Silakan. Tapi Rakyat Punya Hati Buat Ngerasain
- 1.8 Gue Belajar Satu Hal: Kalau Kita Diam, Kita Diatur
- 1.9 Penutup: Gibran Mungkin Baik, Tapi Sistem yang Ngedorong Dia Naik Itu yang Harus Diawasin
- 2 Author
Purnawirawan TNI. Gue bukan anak kampus yang doyan demo. Tapi gue punya logika, dan gue nonton berita. Dan yang belakangan ini bikin gue mikir keras adalah soal dukungan purnawirawan TNI ke Gibran.
Lo tahu lah, Gibran — anaknya Pak Jokowi, sekarang Wali Kota Solo, dan langsung loncat jadi cawapres bareng Prabowo. Oke lah, itu hak politik dia. Tapi pas gue liat barisan purnawirawan jenderal TNI tampil satu-satu nyatakan dukungan terang-terangan, gue mulai ngerasa ada yang gak beres.
“Kenapa harus mereka? Kenapa bukan rakyat aja yang dukung kalau emang bagus?”
Gue Gak Gitu Ngerti Politik, Tapi Ada yang Gak Beres Rasanya
Dulu, Militer Itu Netral. Sekarang, Kayaknya Udah Nggak Lagi
Gue inget banget waktu kecil, bokap gue selalu bilang: TNI gak boleh dukung partai atau calon politik. Itu prinsip sejak reformasi. Karena kita pernah belajar dari masa lalu, ketika militer terlalu dalam ikut politik, hasilnya ya… gak sehat.
Tapi sekarang? Purnawirawan muncul deklarasi satu-satu. Ada yang jabatannya mantan jenderal, ada yang pernah megang pasukan penting. Dan semua terang-terangan dukung Gibran. Bahkan gak cuma mendukung, mereka juga ikut bantu kampanye.
Gue nanya ke diri sendiri,
“Emang purnawirawan boleh dukung? Secara hukum iya. Tapi secara moral? Bener gak sih?”
Soalnya rakyat biasa kayak gue masih ngeliat mereka sebagai simbol kekuatan, simbol netralitas. Dan kalo mereka masuk politik, yang netral jadi makin sempit.
Gibran Naik Terlalu Cepat, dan Itu Gak Bisa Dipisahin dari Koneksi
Gue gak anti Gibran, serius. Dia anak muda, pinter, dan punya gaya santai. Tapi fakta bahwa dia bisa langsung jadi cawapres di usia 36 — pas umur batas usia dirubah MK — itu udah cukup bikin gue curiga.
Terus ditambah lagi sekarang, muncul purnawirawan TNI yang pasang badan buat dia. Di kepala gue muncul satu pertanyaan:
“Apa ini semua udah disiapin dari awal?”
Dari perubahan aturan, sampai jaringan dukungan. Kayak ada gerakan halus tapi rapi banget. Dan rakyat? Cuma bisa nonton.
Kenapa Harus Purnawirawan yang Muncul di Depan?
Yang bikin gue geleng-geleng adalah kenapa yang tampil di layar itu justru purnawirawan? Kenapa bukan rakyat yang nyuarain langsung?
Gue gak mau nuduh, tapi yang gue liat sekarang tuh kayak setting-an. Gibran ditampilkan sebagai calon muda yang didukung tokoh senior dari militer. Simbol kestabilan. Simbol keamanan.
Tapi ironisnya, justru ini bikin gue makin gak aman. Karena yang kayak gini biasanya jadi tanda, bahwa politik kita makin dikendalikan elite yang diem-diem main di belakang.
Apa Kata Temen Gue Anak Kostrad?
Gue punya temen lama, bokapnya purnawirawan juga. Kita ngobrol sambil ngopi, dan gue tanya langsung:
“Bokap lo dukung siapa?”
Dia bilang, “Wah, bokap udah deklarasi dukung Gibran.”
Gue tanya kenapa. Dia jawab, “Katanya Gibran mewakili regenerasi. Dan Prabowo udah lama loyal.”
Gue gak nyanggah. Tapi gue cuma bilang satu hal:
“Lo sadar gak, rakyat sekarang makin gak percaya, bukan karena Gibran jelek. Tapi karena cara dia dimenangkan keliatan terlalu ‘dibantuin’.”
Temen gue diem. Lama. Terus dia bilang, “Gue juga mulai ngerasa begitu.”
Demokrasi Itu Harusnya Sehat, Tapi Yang Terjadi Malah Kebanyakan Sponsor
Yang bikin gue makin kesel adalah, dalam sistem demokrasi, harusnya rakyat jadi penentu utama. Tapi sekarang? Kayaknya yang lebih dulu bersuara itu barisan sponsor politik.
Purnawirawan TNI dukung Gibran, tokoh ormas ikut dukung, pengusaha dukung. Rakyat baru nyusul.
Padahal, demokrasi itu harusnya kebalik: rakyat dulu bersuara, elite baru ngikut.
Tapi yang sekarang kejadian justru elite-elite duluan deklarasi, bikin opini, dan rakyat kayak dituntun buat ikutan.
Gue ngerasa dijajah ulang—bukan sama senjata, tapi sama strategi komunikasi politik.
Gue Gak Benci TNI, Tapi Gue Nyesek Liat Citra Mereka Dipakai Buat Politik
Gue cinta TNI. Serius. Mereka jaga negeri. Tapi waktu ada purnawirawan tampil dan jadi juru kampanye Gibran, gue ngerasa kecewa.
Karena yang rakyat lihat adalah:
“Oh, berarti TNI dukung Gibran?”
Padahal yang aktif masih netral. Tapi karena citra purnawirawan gak bisa dilepas dari baju loreng, akhirnya rakyat jadi bingung.
Dan ini berbahaya. Karena kalau satu institusi udah dicurigai keberpihakan politiknya, maka kepercayaan rakyat bisa rontok.
Lo Mau Bilang Ini Konspirasi? Silakan. Tapi Rakyat Punya Hati Buat Ngerasain
Gue gak butuh bukti buat ngerasa ada yang janggal. Karena rakyat punya insting. Kita tahu kapan sesuatu itu alami, kapan itu didorong.
Dari cara Gibran naik, perubahan aturan usia, sampe dukungan purnawirawan TNI—semuanya terlalu rapi.
Kalau ini bukan skenario, mungkin ini cuma kebetulan. Tapi kebetulan yang terlalu banyak bisa jadi pertanda.
Gue Belajar Satu Hal: Kalau Kita Diam, Kita Diatur
Gue gak mau lagi jadi warga yang diem. Lo juga harusnya enggak. Karena kalau kita diem, suara kita diganti sama suara elite. Pilihan kita diganti sama setting-an mereka, dikutip dari laman resmi Sindo.
Mau lo dukung siapa pun, itu hak lo. Tapi pastiin dukungan lo bukan karena digiring, tapi karena lo mikir dan ngerasa sendiri.
Penutup: Gibran Mungkin Baik, Tapi Sistem yang Ngedorong Dia Naik Itu yang Harus Diawasin
Gue gak nyalahin Gibran. Tapi gue nyorot sistem yang bikin dia naik. Dan terutama, gue sedih karena purnawirawan yang harusnya jadi contoh netralitas, sekarang malah dipakai buat jualan politik.
Gue cuma rakyat kecil. Tapi gue punya suara. Dan hari ini, gue pake suara gue buat bilang:
“Kami lihat semua ini. Kami gak buta. Dan kami akan ingat pas hari pemilu tiba.”
Baca Juga Artikel dari: Antisipasi Enola Holmes 3: Kenapa Film Ini Wajib Ditunggu
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Information